“Kalau kamu enggan mengurus anak kita, lebih baik kamu pulang.”
Kata-kata itu
keluar dari mulut suaminya, Adrian, beberapa menit yang lalu. Kesadaran Diana
masih samar-samar, sebelum pada akhirnya seorang dokter jaga dan seorang
perawat tiba memeriksa. Adrian orang pertama yang bangun setelah balita itu
menangis dan Diana masih terlelap.
Diana tidak berkata
apa-apa. Dokter bilang “Anakmu kuat” sebelum berlalu.
Adrian kembali pada
kursi meringkuk tidur dengan wajah kecut. Diana terjaga, kantung matanya kelabu.
Kenyataan berubah
menjadi seperti mimpi bagi Diana saat ia menyaksikan cahaya menerobos masuk
melalui jendela. Pagi itu Adrian baru bangun dan hanya diam. Diana merapikan
mainan, obat-obat, sisa makanan, dan pakaian Adrian di atas sofa. Ia
menciptakan ketertiban tak kasat.
“Sebaiknya Anda
tidur dulu.” Kata perawat yang membantu.
Diana hanya
membalas dengan kontak mata dan tak berarti apa-apa. Selanjutnya hening.
Perawat itu pergi dan Adrian seperti telah membendung sesuatu.
“bagaimana mungkin
kamu bisa nyenyak tidur semalam saat anak kita merengek sakit?”
Pagi ini ia
terbangun hanya untuk mengucapkan itu. Seakan pura-pura tidak mendengar, Diana
masih merangkai, membangun ketenangan dalam batinnya.
“Kamu tau ini akibat
apa?” tanya Adrian, “Virus yang kamu bawa ke rumah kita minggu lalu.”
“Kamu harus segera
pergi bekerja, Mas. Kemejanya sudah aku siapkan.”
“Kekanak-kanakan!”
Adrian menimpal, “aku tidak bisa pergi dengan keadaan seperti ini.”
Tetapi beberapa
lama kemudian Adrian pergi, Diana mencermati perkataan itu. Mungkin memang
demikian. Mungkin juga tidak. Gairahnya hilang untuk berbantah-bantahan dengan
suaminya pasca operasi yang dilakukan pada anaknya dua hari lalu. Sejak saat
itu pula, ia baru bisa tidur tadi malam, dan itu hanya satu jam. Setiap kali
dokter berkunjung, ia hanya berdiri dengan tatapan kosong dan kepalanya
bersandar pada dinding. Ada kelegaan setelah dokter itu ada di sini, bukan
karena ia menyatakan kondisi anaknya, melainkan dokter itu tidak mengatakan
apa-apa.
“Sebaiknya Anda
berjalan-jalan keluar sebentar, ini pasti minggu yang berat. Biarkan perawat
berada di sini sampai Anda kembali.” Kata dokter itu pada Diana setengah
berbisik.
Sore itu Diana memenuhi
saran Dokter. Ia pergi keluar, sedikit berjalan-jalan menyusuri trotoar. Kota
lengang setelah pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Virus
menyebar ke seluruh kota sejak awal tahun. Ada beberapa kantor diizinkan
beroperasi, tetapi hanya sedikit yang bekerja, itu pun dengan protokol ketat.
Sayup-sayup suara
ambulans memenuhi ruang kosong di antara gedung-gedung. Udara jernih, tetapi kesesakan
tetap terasa samar. Taman-taman, pancuran, beberapa polisi mendorong pembatas
jalan untuk menutup beberapa perempatan, entah kenapa itu semua membuatnya
sedikit lebih tertib.
Cahaya matahari
memantulkan warna keemasan, pada dedaunan dan aspal. Diana benar-benar terjebak
dalam ambiguitas yang menganga, antara realitas atau mimpi setelah anaknya
harus dibawa ke rumah sakit. Di satu sisi, ia menatap mata anaknya yang
cemerlang. Ia menggendongnya ke dekat jendela untuk merasakan matahari pagi.
Napas yang pendek, denyut yang mungil. Mengalun bergerak bersama gelombang cahaya
dan pepohonan di seberang jendela. Diana merasa alam semesta menyusut dan
menyatu, jadi bagian dari raksasa alam semesta.
Namun di sisi lain
kenyataan itu tampak aneh. Ada kesan kebaruan yang ganjil dan tak berkesudahan pasca
melahirkan. Setengah percaya. Ia kini adalah seorang ibu. Seorang ibu?
Ia berjalan
menyusuri pertokoan yang tutup. Ada bayangan dirinya terpantul di balik kaca
yang membatasi antara dirinya yang samar dengan gaun-gaun, aksesoris, atau
mainan anak-anak. Seakan semua yang ia lihat dan cermati adalah
serpihan-serpihan dirinya yang memudar.
Gaun-gaun semacam
itu pernah menjadi kado ulang tahun yang diberikan oleh Adrian ketika dirinya
masih gadis. Adrian hadir membawa kepastian-kepastian yang dicari oleh Diana.
Gelagatnya, sorot matanya. Mereka saling menemukan perasaan yang sama di dalam diri
satu sama lain.
Kehangatan udara
kota membuatnya merasa sedikit kantuk. Ia kembali ke rumah sakit. Adrian sudah
berada di sana.
“Suasana kota pasti
membahagiakanmu.” Kata Adrian. “Sudah ketemu apa yang kamu cari selama ini?
Lihat, anak kita muntah darah saat kamu berjalan di depan pertokoan.”
Diana mengelus
kepala anaknya yang tertidur. Napasnya pendek-pendek. Diana mengecup keningnya.
Menepuk-nepuk lembut kaki anak itu, sementara Adrian terus berceramah. Sore
menjadi sore yang panjang di ruangan itu. Sekalipun Diana berusaha
memperpendeknya dengan terus mengatakan iya.
Dokter kembali berkunjung
saat Adrian terus melontarkan ceramahnya. Ia lagi-lagi tidak mengatakan apa-apa
selain anggukan kecil kepada perawat. Dokter itu tidak mengerti kenapa Diana
tahan atas ocehan suaminya, saat Diana memiliki banyak kesempatan untuk
menimpal.
Sesudah pemeriksaan,
wajah dokter itu sedikit muram. Dokter mengajak Adrian keluar dan berbicara.
Diana tidak mengetahui apa yang terjadi.
Satu hari, dua
hari, kondisi anaknya menurun. Adrian tidak lagi mengucapkan apapun pada Diana
setelah anak mereka meninggal.
***
Debu-debu di permukaan meja, kursi, buku-buku, walau semua tersusun rapi namun seperti tidak ada yang layak ditinggali. Diana mendekati jendela. Mengambil beberapa pasang mainan kecil untuk ditaruh, seakan harus disiram kembali oleh cahaya. Tapi pagi itu tidak ada matahari, atau mata yang cemerlang. Sementara sayup suara ambulans dari kota menyelinap masuk, memberi kegetiran yang tak selesai, kekecewaan yang tak sanggup dikuasai.
Adrian berdiri di belakangnya
menggenggam tangan Diana.
“Aku minta maaf
atas kelakuanku, minggu ini aku begitu kacau. Dan kita harus membicarakan
sesuatu” kata Adrian.
“Aku hanya ingin
melihat anakku.”
“Duduklah
sebentar.”
Diana berbalik
menghadap, lalu melipat tangan Adrian “Aku kembalikan padamu kehormatan yang
masih ingin kamu genggam. Biarlah orang mengenal Adrian sebagaimana kukenal
dulu.”
“Maksudmu apa
Diana?”
Tanpa penjelasan,
Diana menggelengkan kepalanya samar. “Tidak apa-apa, Adrian. Tidak apa-apa.”
Diana berusaha
tidak mengingat bahwa Adrian memang tidak pernah memukul, menampar, mencederai
tubuhnya. Ini adalah soal lain. Sentuhan, kehangatan, yang tidak bisa
digambarkan secara fisik, yang sayangnya selalu ambigu dan absen disaat Diana
butuh. Adrian bisa sehangat kuku, tuturnya selembut sutra. Tetapi ia dapat diam
tanpa bahasa. Dingin seperti tidak ingin. Adrian dapat memberi tanpa diminta.
Namun jarang, sesederhana menggendong anaknya. Menyambut disaat anaknya
merengek nangis. Menimang. Melihat sorot matanya yang cemerlang.
Ingatan itu begitu
nyata, senyata kini Diana menatap jendela, mainan, Adrian.. Ingatan yang
bermuatan luka, ingatan paling pekat. Adrian hadir dalam kehidupan Diana seolah-olah
dapat menjawab segala pertanyaan yang tiba secara spontan dan mendesak. Ia
takut, ia marah, ia takut dan marah karena itu bertumpu pada dirinya yang tidak
mau menanggung derita sendirian. Jika ia merasa menderita maka derita itu harus
ia bagi juga pada Diana dan Diana yang harus membereskannya.
Mata Diana sudah
tampak seperti mata panda. Wajahnya pucat pasi. Debu-debu di jendela, mainan,
bunga-bunga mengering di halaman. Hidupnya terasa kering kerontang.
Tapi apakah itu –
memilih Adrian – keputusan yang salah? Saat kelangsungan hidup berdiri di atas
tonggak kemewahan, nominal uang, tembok-tembok, tanpa afeksi yang mengalir yang
membuat dirinya dan anaknya merasa hidup?
Belum sempat ia
menerjemahkan perasaannya yang ambigu setelah menjalani hidup sebagai istri dan
kehadiran sosok anak, kini Diana harus menjerumuskan diri pada fase baru bernama
kehilangan.
Tiba-tiba air mata
membasahi pipi Diana. “Aku kira air mataku telah kering,” katanya sambil
menertawakan dirinya sendiri.