Selasa, 09 September 2025

Napas-Napas Yang Pendek

“Kalau kamu enggan mengurus anak kita, lebih baik kamu pulang.”

Kata-kata itu keluar dari mulut suaminya, Adrian, beberapa menit yang lalu. Kesadaran Diana masih samar-samar, sebelum pada akhirnya seorang dokter jaga dan seorang perawat tiba memeriksa. Adrian orang pertama yang bangun setelah balita itu menangis dan Diana masih terlelap.

Diana tidak berkata apa-apa. Dokter bilang “Anakmu kuat” sebelum berlalu.

Adrian kembali pada kursi meringkuk tidur dengan wajah kecut. Diana terjaga, kantung matanya kelabu.

Kenyataan berubah menjadi seperti mimpi bagi Diana saat ia menyaksikan cahaya menerobos masuk melalui jendela. Pagi itu Adrian baru bangun dan hanya diam. Diana merapikan mainan, obat-obat, sisa makanan, dan pakaian Adrian di atas sofa. Ia menciptakan ketertiban tak kasat.

“Sebaiknya Anda tidur dulu.” Kata perawat yang membantu.

Diana hanya membalas dengan kontak mata dan tak berarti apa-apa. Selanjutnya hening. Perawat itu pergi dan Adrian seperti telah membendung sesuatu.

“bagaimana mungkin kamu bisa nyenyak tidur semalam saat anak kita merengek sakit?”

Pagi ini ia terbangun hanya untuk mengucapkan itu. Seakan pura-pura tidak mendengar, Diana masih merangkai, membangun ketenangan dalam batinnya.

“Kamu tau ini akibat apa?” tanya Adrian, “Virus yang kamu bawa ke rumah kita minggu lalu.”

“Kamu harus segera pergi bekerja, Mas. Kemejanya sudah aku siapkan.”

“Kekanak-kanakan!” Adrian menimpal, “aku tidak bisa pergi dengan keadaan seperti ini.”

Tetapi beberapa lama kemudian Adrian pergi, Diana mencermati perkataan itu. Mungkin memang demikian. Mungkin juga tidak. Gairahnya hilang untuk berbantah-bantahan dengan suaminya pasca operasi yang dilakukan pada anaknya dua hari lalu. Sejak saat itu pula, ia baru bisa tidur tadi malam, dan itu hanya satu jam. Setiap kali dokter berkunjung, ia hanya berdiri dengan tatapan kosong dan kepalanya bersandar pada dinding. Ada kelegaan setelah dokter itu ada di sini, bukan karena ia menyatakan kondisi anaknya, melainkan dokter itu tidak mengatakan apa-apa.

“Sebaiknya Anda berjalan-jalan keluar sebentar, ini pasti minggu yang berat. Biarkan perawat berada di sini sampai Anda kembali.” Kata dokter itu pada Diana setengah berbisik.

Sore itu Diana memenuhi saran Dokter. Ia pergi keluar, sedikit berjalan-jalan menyusuri trotoar. Kota lengang setelah pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Virus menyebar ke seluruh kota sejak awal tahun. Ada beberapa kantor diizinkan beroperasi, tetapi hanya sedikit yang bekerja, itu pun dengan protokol ketat.

Sayup-sayup suara ambulans memenuhi ruang kosong di antara gedung-gedung. Udara jernih, tetapi kesesakan tetap terasa samar. Taman-taman, pancuran, beberapa polisi mendorong pembatas jalan untuk menutup beberapa perempatan, entah kenapa itu semua membuatnya sedikit lebih tertib.

Cahaya matahari memantulkan warna keemasan, pada dedaunan dan aspal. Diana benar-benar terjebak dalam ambiguitas yang menganga, antara realitas atau mimpi setelah anaknya harus dibawa ke rumah sakit. Di satu sisi, ia menatap mata anaknya yang cemerlang. Ia menggendongnya ke dekat jendela untuk merasakan matahari pagi. Napas yang pendek, denyut yang mungil. Mengalun bergerak bersama gelombang cahaya dan pepohonan di seberang jendela. Diana merasa alam semesta menyusut dan menyatu, jadi bagian dari raksasa alam semesta.

Namun di sisi lain kenyataan itu tampak aneh. Ada kesan kebaruan yang ganjil dan tak berkesudahan pasca melahirkan. Setengah percaya. Ia kini adalah seorang ibu. Seorang ibu?

Ia berjalan menyusuri pertokoan yang tutup. Ada bayangan dirinya terpantul di balik kaca yang membatasi antara dirinya yang samar dengan gaun-gaun, aksesoris, atau mainan anak-anak. Seakan semua yang ia lihat dan cermati adalah serpihan-serpihan dirinya yang memudar.

Gaun-gaun semacam itu pernah menjadi kado ulang tahun yang diberikan oleh Adrian ketika dirinya masih gadis. Adrian hadir membawa kepastian-kepastian yang dicari oleh Diana. Gelagatnya, sorot matanya. Mereka saling menemukan perasaan yang sama di dalam diri satu sama lain.

Kehangatan udara kota membuatnya merasa sedikit kantuk. Ia kembali ke rumah sakit. Adrian sudah berada di sana.

“Suasana kota pasti membahagiakanmu.” Kata Adrian. “Sudah ketemu apa yang kamu cari selama ini? Lihat, anak kita muntah darah saat kamu berjalan di depan pertokoan.”

Diana mengelus kepala anaknya yang tertidur. Napasnya pendek-pendek. Diana mengecup keningnya. Menepuk-nepuk lembut kaki anak itu, sementara Adrian terus berceramah. Sore menjadi sore yang panjang di ruangan itu. Sekalipun Diana berusaha memperpendeknya dengan terus mengatakan iya.

Dokter kembali berkunjung saat Adrian terus melontarkan ceramahnya. Ia lagi-lagi tidak mengatakan apa-apa selain anggukan kecil kepada perawat. Dokter itu tidak mengerti kenapa Diana tahan atas ocehan suaminya, saat Diana memiliki banyak kesempatan untuk menimpal.

Sesudah pemeriksaan, wajah dokter itu sedikit muram. Dokter mengajak Adrian keluar dan berbicara. Diana tidak mengetahui apa yang terjadi.

Satu hari, dua hari, kondisi anaknya menurun. Adrian tidak lagi mengucapkan apapun pada Diana setelah anak mereka meninggal.

***

Debu-debu di permukaan meja, kursi, buku-buku, walau semua tersusun rapi namun seperti tidak ada yang layak ditinggali. Diana mendekati jendela. Mengambil beberapa pasang mainan kecil untuk ditaruh, seakan harus disiram kembali oleh cahaya. Tapi pagi itu tidak ada matahari, atau mata yang cemerlang. Sementara sayup suara ambulans dari kota menyelinap masuk, memberi kegetiran yang tak selesai, kekecewaan yang tak sanggup dikuasai.

Adrian berdiri di belakangnya menggenggam tangan Diana.

“Aku minta maaf atas kelakuanku, minggu ini aku begitu kacau. Dan kita harus membicarakan sesuatu” kata Adrian.

“Aku hanya ingin melihat anakku.”

“Duduklah sebentar.”

Diana berbalik menghadap, lalu melipat tangan Adrian “Aku kembalikan padamu kehormatan yang masih ingin kamu genggam. Biarlah orang mengenal Adrian sebagaimana kukenal dulu.”

“Maksudmu apa Diana?”

Tanpa penjelasan, Diana menggelengkan kepalanya samar. “Tidak apa-apa, Adrian. Tidak apa-apa.”

Diana berusaha tidak mengingat bahwa Adrian memang tidak pernah memukul, menampar, mencederai tubuhnya. Ini adalah soal lain. Sentuhan, kehangatan, yang tidak bisa digambarkan secara fisik, yang sayangnya selalu ambigu dan absen disaat Diana butuh. Adrian bisa sehangat kuku, tuturnya selembut sutra. Tetapi ia dapat diam tanpa bahasa. Dingin seperti tidak ingin. Adrian dapat memberi tanpa diminta. Namun jarang, sesederhana menggendong anaknya. Menyambut disaat anaknya merengek nangis. Menimang. Melihat sorot matanya yang cemerlang.

Ingatan itu begitu nyata, senyata kini Diana menatap jendela, mainan, Adrian.. Ingatan yang bermuatan luka, ingatan paling pekat. Adrian hadir dalam kehidupan Diana seolah-olah dapat menjawab segala pertanyaan yang tiba secara spontan dan mendesak. Ia takut, ia marah, ia takut dan marah karena itu bertumpu pada dirinya yang tidak mau menanggung derita sendirian. Jika ia merasa menderita maka derita itu harus ia bagi juga pada Diana dan Diana yang harus membereskannya.

Mata Diana sudah tampak seperti mata panda. Wajahnya pucat pasi. Debu-debu di jendela, mainan, bunga-bunga mengering di halaman. Hidupnya terasa kering kerontang.

Tapi apakah itu – memilih Adrian – keputusan yang salah? Saat kelangsungan hidup berdiri di atas tonggak kemewahan, nominal uang, tembok-tembok, tanpa afeksi yang mengalir yang membuat dirinya dan anaknya merasa hidup?

Belum sempat ia menerjemahkan perasaannya yang ambigu setelah menjalani hidup sebagai istri dan kehadiran sosok anak, kini Diana harus menjerumuskan diri pada fase baru bernama kehilangan.

Tiba-tiba air mata membasahi pipi Diana. “Aku kira air mataku telah kering,” katanya sambil menertawakan dirinya sendiri.

Rabu, 27 Agustus 2025

Seorang Lelaki yang Tidak Dikenal

“Kalau besok tiba-tiba mayatnya ditemukan di sekitaran sini, kamu mau ngapain Dod?”

“Wah, sampe situ juga pikiranmu Mit” kata Dodi, garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Nggak tahu, ngapain ya.”

“Kan aneh ya, ada orang kesini cuma buat bengong. Minimal bertemu sama temannya gitu, atau pacarnya, atau selingkuhannya kek”

“Mit, Kafe ini bukan rumah, bukan kantor, tapi cuma ruang singgah. Gak ada aturan yang mewajibkan orang yang datang kesini mesti atas dua orang dan mengerjakan sesuatu. Lagian menurutku setiap pertemuan mereka, di antara meja-meja itu juga nggak berarti betul-betul bertemu.”

“Iya, tapi daripada bengong mending ngelakuin hal yang lebih berguna aja sih.”

Lelaki yang dibicarakan oleh mereka sudah duduk dua jam di kafe itu, menghadap pada bangunan apartemen yang berjarak sekitar lima ratus meter dari sana. Di bawahnya pemukiman warga berdesak-desakan dipisahkan oleh sebuah jalan raya. Japanese Coffee itu tinggal setengah. Ia menuangkannya pada gelas kecil, lalu meneguknya seperti sedang minum obat.

Sebagai pelayan, Mita dan Dodi suka mengisi waktu senggangnya untuk mengamati tingkah laku para pelanggan Kafe. Pernah ada seseorang yang menunggu pasangannya berjam-jam, ada dosen yang terciduk selingkuh dengan mahasiswanya, anak SMA yang menyatakan cintanya, memutus hubungan, bahkan berkelahi. Hampir sebagian besar fenomena hubungan sosial antar anak muda pernah terjadi di sini.

Maka sebetulnya jarang ada lelaki umur 40-an, datang ke kafe ini sendirian memesan kopi dan menghabiskan waktu hanya untuk melamun. Lagian, di Kafe seperti ini, generasi milenial biasanya kurang suka dengan cara pelayanannya, misalnya kalau memesan kopi harus ambil sendiri ke kasir. Ditambah musiknya kontemporer, isinya pemuda-pemudi yang gemar nongkrong sambil mengerjakan tugas atau diskusi ringan. Kehadiran seorang milenial awal, bagi Mita, cukup anomali.

“Biarlah Mit, mungkin orang itu sedang memahami perasaannya.”

“Emang laki-laki bisa memahami perasaannya sendiri?”

Mendengar perkataan Mita, Dodi cuma mengangkat alis.

Jangan main-main dengan Mita soal ini, pikir Dodi. Ia bisa mengeluarkan berbagai macam kasus tentang peran dirinya sebagai istri di dalam rumah tangga, dengan sample peristiwa yang berurusan dengan suaminya. Telat jemputlah, susah dibanguninlah, dan lah-lah-lah lainnya. Mita lebih pengalaman. Dodi memilih diam.

Malam semakin malam dan Kafe menuju status tutup. Pasar swalayan juga telah memadamkan lampu-lampunya. Pemukiman sudah sepi. Di bawah sinar lampu kuning, pada sebuah gang terlihat bapak-bapak dengan kaos oblong mendorong motornya masuk ke ruang tamu. Deretan rumah di situ betul-betul hanya berjarak tidak lebih dari satu setengah meter dengan rumah lainnya. Nyaris tak ada halaman depan, apalagi halaman belakang. Masing-masing terpisah atas nama gang.

Di atas sana, pada sebagian besar lampu-lampu kamar apartemen masih menyala. Kadang terlihat siluet orang yang berdiri di balkon. Di kota ini kadang ketimpangan sosial itu hanya berjarak beberapa ratus meter. Namun semua itu bersinggungan dengan cara yang dingin. Sedingin angin malam itu, yang seharusnya sudah membuat kulitnya bergidik, tapi lelaki itu tetap bergeming dan berpangku tangan.

Lelaki itu mengenakan kaca mata, kemeja hitamnya berlapis kardigan berwarna kelabu. Rambutnya lurus dan kadang ia menyisir dengan jemari sambil sikutnya bertopang pada meja. Dari penampilannya itu Ia terlihat sebagai orang yang bekerja di kantoran.

“Lebih mirip detektif Conan Mit.” Kata Dodi.

Mita hanya tertawa,

Ia tidak terlihat sedang menunggu seseorang, yang biasanya dapat diindikasikan dengan berulangnya ia memeriksa ponsel atau melihat jam tangan. Ia justru seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Matanya kadang terlihat mengamati apa yang ada di hadapannya, kadang juga terjun pada jurang kekosongan.

Dua pelayan itu, Mita dan Dodi sudah hampir membereskan barang-barang, memeriksa kembali stok persediaan, untuk sekitar setengah jam Kafe akan tutup. Mita kemudian menyuruh Dodi supaya bilang kepada lelaki itu bahwa kafe lima belas menit lagi akan tutup.

“Sama kamu aja Mit.”

“Kamu gak mau pulang apa?” keluhnya, lalu ia melanjutkan, “tapi kamu yang beresin Meja Pak tua itu. Suamiku udah jemput.”

“oke!” kata Dodi.

Mita kemudian menghampiri lelaki itu. Di sana memang sudah tidak ada pelanggan, hanya lelaki itu seorang. Ia menatap bibir Mita bicara sebentar lalu manggut-manggut paham.

Sekembalinya Mita ke belakang meja kasir, lelaki itu telah membereskan barang-barangnya. Ia berdiri, diam sebentar, memastikan apa yang sekiranya tidak tertinggal, lalu melangkah pergi meninggalkan Kafe. Tidak terasa waktu telah menyisakan lima belas menit dan Mita sudah mengganti tulisan yang menggantung di pintu kaca dengan tulisan CLOSED.

“Dod tugasku selesai ya, tinggal ngepel aja giliran kamu.” seru Mita sambil menggendong tasnya, “hidup ini pendek Dod, jadi lakuin apapun sesegera mungkin. Aku pamit ya!” kata Mita dengan mata ngantuknya.

Setelah mengatakan hati-hati pada Mita, malam hanya menyisakan Dodi di sana. Ia telah mematikan lagu, dan beberapa nyala lampu. Ia hendak membereskan gelas dan mengelap meja bekas lelaki itu. Di saat yang bersamaan, ia tertegun. Ia menaruh kembali gelas di atas meja dan coba duduk di sana. Ia penasaran dengan apa yang dirasakan lelaki paruh baya itu sampai bisa duduk hingga berjam-jam.

Tapi Dodi tidak merasakan apa-apa. Barangkali Mita ada benarnya, lebih baik melakukan hal yang lebih berguna ketimbang mengamati banyaknya antena yang terpasang di atas pemukiman warga.

Sambil membawa gelas ke dapur, Dodi berpikir mungkin lelaki itu mengalami romantisme akut yang tak bisa dibagi pada tiap orang seenaknya, tidak juga kepada Mita. Perasaan yang sulit dipahami saat lampu mati dan orang-orang telah berlalu pergi, sebuah pengalaman eksistensial yang tidak serta merta diangkat dan disajikan di atas meja makan dengan orang lain. Orang-orang tak akan pernah mengerti perasaannya, cuma itu yang Dodi tahu.

Dodi kemudian mencuci gelasnya. Setelah itu ia mengepel lantai sedikit, karena selebihnya masih terlihat bersih. Hanya supaya besok siang tinggal menyapu.

Namun Dodi berterus terang pada dirinya sendiri bahwa ia masih penasaran pada apa yang ditinggalkan lelaki paruh baya itu. Ada yang tertinggal di sana, bukan benda atau semacamnya, namun perasaan yang sunyi.

Seorang lelaki, menurut Dodi, selalu tak akan pernah bisa menunjukkan air matanya di muka umum. Meskipun itu terdengar sangat berharga sebagai arti menjadi manusia. Tetapi lelaki harus terlihat kuat, tangguh, tahan banting, urat kawat tulang besi kayak Gatot Kaca. Maskulin total pokoknya! Tabu bagi lelaki untuk bersedih, kecewa, dan melewati suatu malam dengan mendengarkan lagu yang menye-menye dengan pipi kebanjiran air mata. Apa arti air mata bagi laki-laki kecuali tanda kelemahan katanya?

Konstruksi sosial membentuk sosok lelaki untuk tersinggung jika disebut cengeng. Saat sekolah dulu, Dodi pernah dilempar penghapus papan tulis oleh gurunya karena dianggap tidak memerhatikan pelajaran di kelas. Seorang temannya yang ketahuan merokok, tangannya dicocol oleh ujung api rokok itu oleh bapaknya, padahal bapaknya juga perokok berat. Adalah nasib kolektif bagi anak-anak lelaki yang rebel di zaman itu mendapatkan kekerasan fisik atas nama didikan: perutnya dicubit sambil diputar, ditampar, ditendang..

Hal itu membentuk lelaki untuk terbiasa dengan pekerjaan yang keras dan kasar. Bahkan dalam sejarah, lelaki harus mengerjakan hal-hal yang membahayakan, seperti berperang, bekerja di pertambangan, dan pekerjaan yang secara langsung bisa mengancam nyawa mereka. Seakan lelaki tak punya ruang untuk melakukan hal-hal seperti menyapu, mencuci piring, menulis puisi, atau.. menangis.

Dodi bertanya pada dirinya sendiri kapan seorang lelaki merasakan dicintai seutuhnya tanpa syarat? Tanpa harus mendaki gunung atau menyelami lautan untuk membuktikan cinta yang eksklusif?

Lalu lintas di luar terdengar menyepi. Langit lengang. Tidak terasa ia telah melamun selama satu setengah jam. Waktu telah menunjukkan pukul 01.14 dini hari. Sedikit ia sadari bahwa ia seperti merasakan resonansi yang sama seperti lelaki itu setelah diam sendirian, terlepas dari semua rutinitas dan kegawatan, yang membuatnya selama ini seakan tak punya banyak waktu di tengah desakan ruang-ruang kota, dan sejarah. Ia membuka ruang percakapan dengan Mita pada ponselnya, lalu jempolnya mengetikkan sesuatu.

“Kayaknya ngga semua mesti berguna juga sih Mit.. Tapi juga berharga.”

Layar ponsel kembali gelap, menyisakan wajahnya yang samar terpantul kaca.


Sabtu, 19 Juli 2025

Pendak Sareng Ajip Rosidi

Saptu kamari kuring isuk-isuk teuing deui waé datang ka Palasari. Atuh ngadodoho di tukang ketoprak nu dagangna urang Jawa sabari nungguan unggal jongko muka ngagelar bukuna. Tapi éta ketoprak ngeunah pisan make endog dadar, sanajan nungguan lila sabab kudu ngantri aya sababaraha jelema. Aya meureun kanu satengah jam. Kuring sabat di Jakarta dahar ketoprak téh jeung babaturan ngaranna si Acong, jigana leuwih ngeunah ieu tinimbang harita.

Hareupeun jongko katingali loba mobil aralus parkir sisieun jalan. Kuring saacanna nanya ka tukang ketoprak ari ieu naha loba mobil aralus. Cék tukang ketoprakna kusabab aya nasi padang cenah di jero. Ah kuring teu yakin, soalna asa euweuh nasi padang di jero mah. Nanging aya hiji mobil anu karék eureun, ku kuring ngahaja diperhatikeun. Nu bogana kaluar mawa sababaraha beundeul buku, leumpang nepungan tukang ngabungkusan buku ku palastik. Nya éta wé meureun jelema-jelema beunghar anu ngaradon kurang leuwih sarua. Malahmah sabat kuring nyobaa ngobrol jeung tukang bukuna, yen aya waé anu anu ngajual sabagasieun mobil. Biasana anu pindahan kaluar kota. Aya ogé kasusna anu ngajual buku ku alesan barudakna teu raresep maca buku, padahal bapakna téh penulis ogé. Teu lila ti kitu, tukang bukuna nunjukkeun buku ensiklopédia nu ditulis ku anu ngajual buku kadinya.

Sanggeus réngsé ti tukang ketoprak, kuring meuntas ngamimitian moro buku ti unggal jongko anu muka. Kuring karék leuleumpangan ogé geus langsung ditawaran, asa meuli baju di pasar Tanjungsari – baheula keur leutik mimilu indung.

“nyari buku apa?”

Kuring tara nangap lamun geus kitu, api-api teu ngadangu sabari panon mah ningal sasadiaan bukuna. Tapi da balageur tukang dagangna, osok ngijinan jang kuring ningalian heula, malihan osok dititah kajero. Sasakali mah osok aya nu nanya mahasiswa mana. Nya waleran kuring sanés mahasiswa, kadieu sotéh meuli buku jang ngoléksi di imah.

Kuring manggihan jongko anu nyondong buku-buku baheula. Taun 2020 kuring kadieu meuli buku anu bahasa Walanda, nepi ka ayeuna eusina teu ngarti. Ngan pédah étamah kuring téh kataji ku sampulna anu klasik.

Ti mimiti kuring niatan kadinya ngan moro buku nu sakapanggihna waé. Teu diniatan arék meuli buku naon-naonna. Ti jongko éta kuring manggih buku judulna Jejak Langkah Urang Sunda 70 Tahun Ajip Rosidi. Kuring kataji ogé, nananyakeun kanu boga jongko aya deui teu buku Ajip Rosidi salian ti éta? Kusabab teu aya, kuring mimiti néangan kanu jongko lain. Sihoréng téh aya anu méré judulna Aku Ini Binatang Jalang, atuh étamah Chairil Anwar cék kuring téh. Teu lila aya nu ngageroan ti jongko sabeulah, cenah anu judulna naon. Bébas waé cek kuring téh.

Anjeunna indit, teu lila balik deui mawa sababaraha beundeul buku nu patula-patalina jeung Ajip Rosidi. Geuningan seeur. Sabat milihan, kuring rada ngahuleng, anjeunna téh urang sunda tapi kuring sorangan salaku urang sunda teu apal kanu karya-karyana. Salami ieu, kuring langkung kataji ku sastra-sastra anu dongkapna ti Éropah, hususna Perancis jeung Amérika. Teu jarang kuring bangga lamun ngutip-ngutip maké bahasa Inggris atawa Perancis – anu kuring sorangan teu ngarti – ngan supaya katingali intelék. Ti harita, kuring lamun ngangken jadi urang sunda téh asa isin. Naha isin? Nya éta ku Ajip Rosidi.

Ahirna kuring meuli dua rupa judul, Mencari Sosok Manusia Sunda jeung Tapak Meri. Anu Kadua ieu yeuh rada resep jigana, lantaran ieumah catetan harian Ajip Rosidi di taun 1995 make basa Sunda. Tina judulna waé ogé saderhana, Tapak Meri.

Tuluy sanggeus kitu, tukang dagangna nyangki kuring téh Mahasiswa,

“da biasanamah Ajip Rosidi dipilarian ku Mahasiswa UPI anu jurusan Basa Sunda.”

“Ah sanes,” cék kuring teh kanggo koléksi wé di bumi.

Saleresna kuring kantos ngadangu Ajip Rosidi téh ti Bang Anton anu gaduh perpustakaan Batoe Api di Jatinangor. Harita kuring masih kuliah seméster hiji, osok ulin-ulinan kadinya. Bang Anton téh kungsi nanya kira-kira kieu:

“Sebutkan sumbangsih yang diberikan kampus (saya) buat negeri ini?”

Atuh kuring ditanya kitu téh hulang-huleng. Anjeunna osok nawisan buku Ajip Rosidi, tapi nyaéta kuring langkung kataji ku Albert Camus jeung réngréngan. Nya ti saptu kamari kuring téh asa diémutan jeung rada ngarti naha Bang Anton bet nanya kitu. Yén sabat maca Panganteur salahsahiji bukuna, Ajip Rosidi loba pangaruhna kanu ngeunaan bahasa Indonesia, sastra Sunda jeung Indonesia jeung sajabana. Padahalmah cenah anjeunna SMP ogé teu tamat nanging tiasa jadi dosén di Jepang. Jigana kontribusi Ajip Rosidi moal bisa kahontal ku lulusan-lulusan S1 angkatan kampus kuring sanajan dihijikeun di wisuda kuring taun 2021. Meureun langkung ti éta..

Sabtu, 05 Juli 2025

Beli Buku

Bulan lalu, saya harus menambah daftar bacaan dengan membeli tiga buku baru. Beberapa menit setelah buku ketiga tiba di kamar indekos, barulah terpikirkan tentang pengeluaran yang melonjak pada bulan itu. Barulah teringat aksioma Thoreau, “biaya sesuatu adalah jumlah waktu dalam hidup yang bersedia kita tukarkan untuk mendapatkannya.” Yang dengan kata lain harga perolehan tiga buku itu sama dengan gaji selama dua hari. Dan itu bisa dipakai buat biaya hidup selama satu minggu sebagai anak indekos. Padahal, anggaran untuk pembelian buku perbulan hanyalah seharga satu buku saja.

Saya sebetulnya bisa tahan beli gadget terbaru, nge-thrift pakaian, atau berkunjung ke tempat kopi yang lagi tren. Tapi saya bisa jadi seorang konsumer yang impulsif soal membeli buku. Motifnya bisa macam-macam. Paling terakhir, didorong oleh rekomendasi konten kreator di instagram.

Bukan hal yang mengherankan bila konsumsi kita ditentukan oleh apa yang media sosial tawarkan. Tawaran itu berangkat dari yang lagi tren atau viral. Sama seperti pernah viralnya buku Filosofi Teras, Atomic Habits, dan sekelompok buku self help. Jika dalam musik misalnya, setelah saya sadari daftar putar saat bekerja To the Bone-nya Pamungkas sampai te-Mangu-nya Fourtwnty, juga terpengaruh oleh tren di media sosial – sedikit-sedikit jangan salahkan, sedikit-sedikit jangan salahkan..

Alih-alih jadi orang yang sanggup menikmati bacaan berjam-jam, saya masih membiarkan buku-buku baru itu tergeletak di atas rak. Ada buku yang masih terbungkus plastik, padahal saya sudah membelinya berbulan-bulan yang lalu. Tapi dalam hal ini, saya tidak mau banyak berkompromi. Sebab menyicil membeli satu buku perbulan diniatkan karena keinginan saya punya perpustakaan pribadi. Kalau rumah Roy Suryo dipenuhi oleh antena parabola, saya juga ingin dong punya rumah yang dipenuhi buku. Rumah mana coba yang punya banyak antena parabola? Cuma Roy Suryo.

Saya hanya agak terganggu oleh ketersediaan yang ditawarkan. Memang, saya lahir dan tumbuh di lingkungan yang tidak ada pelarangan dalam mengakses sebuah buku. Kondisinya tidak mencekam seperti masa pra-reformasi. Walaupun saya masih menemukan orang tua teman yang bilang, “jangan baca itu, dia itu komunis,” saat ia saya rekomendasikan sebuah buku berjudul Madilog. Kini hal itu bukan lagi soal yang gawat, namun di setiap toko buku, yang dipajang adalah itu lagi dan itu lagi. Tak ada pilihan lain ya?

Rasanya akses terhadap buku dimediasi oleh satu raksasa bernama kapitalisme. Toko buku terakhir yang saya kunjungi, menyediakan rak untuk buku self help lebih luas dibandingkan yang lain, dan mayoritas buku-bukunya datang dari Amerika. Ah ini terlalu Amerika, ah ini terlalu Korea, ini juga terlalu Jepang. Apa ini? Perang dagang? Saya bersolilokui. Padahal, masih ada tempat buku loakan seperti Palasari Bandung, yang masih menyediakan bermacam-macam buku sebagai opsi.

Buku self help memang laku. Tidak sedikit buku-buku semacam ini menyadur pemikiran yang datangnya dari para pemikir filsafat. Saya kurang setuju karena sampai pernah ada yang mempersamakan filsafat adalah self help itu sendiri.  Tentu ini pandangan yang keliru. Tapi fenomena larisnya buku-buku seperti ini tidak lepas dari masyarakatnya sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah bisa sepenuhnya mengabaikan pendapat orang lain terhadap dirinya. Kita selalu ingin divalidasi oleh judul-judul Berani Tidak Disukai, You Do You, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, How to Win Friends and Influence People, dan How to lainnya.

Barangkali salah satu target pasar yang lagi oke adalah orang-orang yang nongkrong di tempat kopi yang namanya menggunakan kata-kata sendu, baca buku yang lagi self help hasil dari nonton podcast-podcast yang sok intelek, dan di situ diputar lagu yang juga tren. Di atasnya, pemilik modal cari investor baru buat buka cabang lain. Semuanya bisnis. Siapa yang tau? Siapa yang mau?

 

Sabtu, 28 Juni 2025

Bermedia Sosial

"An endless bombardment of news and gossip and images has rendered us manic information addicts. It broke me. It might break you, too." 

Itu adalah kalimat pembuka Andrew Sullivan dalam esainya yang berjudul I Used To Be A Human Being. Saya sudah cukup kewalahan untuk bermedia sosial akhir-akhir ini. Hal itu saya sampaikan kepada seorang teman untuk melanjutkan topik pembicaraan soal Ernest Prakasa yang cabut dari akun twitter-nya (kini berganti menjadi X).

“Tapi gimana twitter hari ini?”

“Gila sih Nu,” kata teman saya, ia kemudian menidurkan posisi botol di atas meja kami dan bilang “perkara gini aja pasti banyak yang komentar.” katanya sambil menunjuk botol.

Tapi twitwar itu sudah saya sadari menjelang tahun 2020. Pada masa pra pilpres tahun 2019, banyak orang tawuran kata-kata di sana; penggiringan opini, tagar nyeleneh, akun-akun moralis yang kontradiktif dengan isi likes-nya... Lalu saya tutup akun satu tahun kemudian.

Dan kini Akal Imitasi (AI) makin populer, terjun ke medan perang di media sosial sebagai  karakter selanjutnya. Saya pernah menemukan video reels pada Instagram, menampilkan Albert Einstein berbicara di depan kamera, mengucapkan beberapa kata motivasi yang saya sendiri tidak tahu apakah kata-kata itu betul pernah ia ucapkan. Setelah menyaksikan reels tersebut saya diam sekitar satu menit membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi akibat hadirnya AI. Tak lama setelah itu saya scroll lagi bermain instagram. Siapa peduli?

Lagi pula, membuka instagram memang seru – walaupun kurang penting. Kita bisa tahu aktivitas teman-teman kita, seperti mereka sedang jajan apa, lari berapa kilometer, liburan ke mana, datang ke acara pernikahan siapa. Konten-kontennya juga unik dan variatif, kayak tren No Face June yang membagikan momen selama bulan juni tanpa foto muka sendiri. Orang di bulan juni tahun 2010 mana  yang kepikiran konten media sosial akan begini coba?

Film Her (2013), yang diperankan oleh Joaqin Phoenix sebagai Theodore menjalin hubungan dengan Samantha yang tak lain adalah AI. Film ini menunjukkan bahwa hubungan tidak selalu harus berkaitan dengan adanya kehadiran fisik, ini tentang perasaan yang dipahami. Seorang penulis populer di Indonesia pernah bilang “carilah pasangan yang, saat kamu tidak meminta apa-apa, ia memberikan segalanya,” media sosial sudah cukup memenuhi hal itu, dan AI sedang tumbuh dewasa. Mudah-mudahan tidak terdengar berlebihan jika dikatakan bahwa manusia sudah cocok berpasangan dengan media sosial karena media sosial lebih mengerti manusia dibanding manusia itu sendiri. Algoritma membaca berapa lama kita terpaut oleh suatu konten, maka konten-konten sejenis akan muncul pada geseran selanjutnya. Ia akan selalu memancing rasa penasaran untuk terus dan terus, menuju Rabbit Hole.

Tristan Harris, mantan pendiri perusahaan start-up dan insinyur Google yang menyimpang dari jalur yang sudah mapan di dunia teknologi untuk menjadi seorang whistleblower, mengatakan,

“benda ini (ponsel pintar) semacam lotre, setiap kali memeriksa ponsel aku memainkan lotre untuk melihat ‘apa yang aku dapatkan’?”

Itulah alasan kenapa Feeds dan Reels tidak ada ujungnya, indikator notifikasi berwarna merah (simbol peringatan), supaya kita menggunakan produk ‘mereka’ selama dan sesering mungkin. Ambil unlocked, scroll-scroll, locked, taruh. Ambil unlocked, scroll-scroll, haha-hihi, locked, taruh. Ambil unlocked, scroll-scroll, teharu, locked, taruh... dan seterusnya dan seterusnya. Kita mungkin tidak sadar sampai screen time ponsel kita menunjukkan 1/3 kita terbangun tinggal di dunia maya.

Saya cukup kewalahan dengan media sosial kiwari, hingga harus menguraikan kembali pertanyaan di mana batas kegunaan media sosial? Jika saya mengatakan keprihatinan tentang media sosial, maka orang-orang akan menjustifikasi bahwa media sosial ini sangat berguna: buat membangun personal branding, berbisnis, dan sumber informasi dan fafifu. Kedengarannya memang masuk akal, sebab manfaat yang didapat tidak akan ditemukan di tempat lain. Contohnya seperti orang bisa berjualan secara daring.

Klaim yang disampaikan demikian itu memang benar. Namun jika dikatakan bahwa media sosial telah berkembang terlalu jauh, melampaui peran minor di mana hal-hal tersebut menjadi alasan kita menggunakannya, juga bukanlah pernyataan yang keliru.

Belakangan, Akal Imitasi memberikan kecemasan baru di media sosial. Orang-orang bertanya sampai sejauh mana AI dapat menggeser peran manusia di dalam dunia kreatif seperti menciptakan musik, membuat desain, membuat karya sastra; atau dalam mempromosikan produk. Beberapa bulan yang lalu saya berbelanja di salah satu pasar swalayan terdekat. Di sana musik diputar, awalnya saya tidak ngeuh kalau musik itu dibuat AI. Setelah didengar dengan seksama, dan lagu selanjutnya menggunakan lirik yang sama dengan nada berbeda, saya mulai familiar karena ada atasan saya yang sering bikin lagu menggunakan AI. Liriknya sederhana, menggunakan nama daerah pasar swalayan itu berada dan beberapa kata persuasif untuk belanja di sana. Lucunya adalah lagu yang dibawakannya bernada sedih.

AI dalam cara kerjanya mengambil referensi dari data yang tersedia. Data ini dapat berupa teks, gambar, video, tergantung pada aplikasi AI yang digunakan. Kita mungkin bertanya itu wajah siapa dan tempatnya diambil dari mana. Alih-alih berbangga, kini saya memiliki sedikit ketakutan untuk mengunggah foto wajah sendiri. Sebab saya tidak tahu apakah AI bisa mencomotnya sehingga wajah saya bernasib serupa tampil di antara reels instagram? Kita menganggap foto hanyalah sekadar foto, tapi AI melihat itu sebagai data. Makin banyak data, semakin lihai AI menciptakan ‘produk’-nya.

AI mulai menyentuh realitas, walaupun mungkin dengan sedikit lucu dan terbata-bata. Ia terbata-bata karena prompter yang dibuat oleh kita belum oke. Orang-orang yang suka membuat konten AI mungkin sedikit berbangga karena mereka dapat berkreatifitas tanpa harus mengeluarkan banyak biaya, tenaga, dan pikiran untuk melewati fase development da pra produksi. Dengan bermodalkan kata-kata sebagai perintah, maka AI siap men-generate-nya jadi sesuatu yang kita inginkan di depan layar.

Barangkali pada akhirnya, kita melihat diri dan sesama kita sebagai komoditas data. Saya tidak tahu apakah kini dan kelak di saat makin pesatnya kemajuan teknologi informasi, kita masih bisa menghargai apa yang dinamakan kemerdekaan, kreatifitas, cinta, humor, toleransi... sebagai bagian dari hidup manusia yang utuh.