“Kalau besok tiba-tiba mayatnya ditemukan di sekitaran sini, kamu mau ngapain Dod?”
“Wah, sampe situ juga pikiranmu Mit” kata Dodi, garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Nggak tahu, ngapain ya.”
“Kan aneh ya, ada orang kesini cuma buat bengong. Minimal bertemu sama temannya gitu, atau pacarnya, atau selingkuhannya kek”
“Mit, Kafe ini bukan rumah, bukan kantor, tapi cuma ruang singgah. Gak ada aturan yang mewajibkan orang yang datang kesini mesti atas dua orang dan mengerjakan sesuatu. Lagian menurutku setiap pertemuan mereka, di antara meja-meja itu juga nggak berarti betul-betul bertemu.”
“Iya, tapi daripada bengong mending ngelakuin hal yang lebih berguna aja sih.”
Lelaki yang dibicarakan oleh mereka sudah duduk dua jam di kafe itu, menghadap pada bangunan apartemen yang berjarak sekitar lima ratus meter dari sana. Di bawahnya pemukiman warga berdesak-desakan dipisahkan oleh sebuah jalan raya. Japanese Coffee itu tinggal setengah. Ia menuangkannya pada gelas kecil, lalu meneguknya seperti sedang minum obat.
Sebagai pelayan, Mita dan Dodi suka mengisi waktu senggangnya untuk mengamati tingkah laku para pelanggan Kafe. Pernah ada seseorang yang menunggu pasangannya berjam-jam, ada dosen yang terciduk selingkuh dengan mahasiswanya, anak SMA yang menyatakan cintanya, memutus hubungan, bahkan berkelahi. Hampir sebagian besar fenomena hubungan sosial antar anak muda pernah terjadi di sini.
Maka sebetulnya jarang ada lelaki umur 40-an, datang ke kafe ini sendirian memesan kopi dan menghabiskan waktu hanya untuk melamun. Lagian, di Kafe seperti ini, generasi milenial biasanya kurang suka dengan cara pelayanannya, misalnya kalau memesan kopi harus ambil sendiri ke kasir. Ditambah musiknya kontemporer, isinya pemuda-pemudi yang gemar nongkrong sambil mengerjakan tugas atau diskusi ringan. Kehadiran seorang milenial awal, bagi Mita, cukup anomali.
“Biarlah Mit, mungkin orang itu sedang memahami perasaannya.”
“Emang laki-laki bisa memahami perasaannya sendiri?”
Mendengar perkataan Mita, Dodi cuma mengangkat alis.
Jangan main-main dengan Mita soal ini, pikir Dodi. Ia bisa mengeluarkan berbagai macam kasus tentang peran dirinya sebagai istri di dalam rumah tangga, dengan sample peristiwa yang berurusan dengan suaminya. Telat jemputlah, susah dibanguninlah, dan lah-lah-lah lainnya. Mita lebih pengalaman. Dodi memilih diam.
Malam semakin malam dan Kafe menuju status tutup. Pasar swalayan juga telah memadamkan lampu-lampunya. Pemukiman sudah sepi. Di bawah sinar lampu kuning, pada sebuah gang terlihat bapak-bapak dengan kaos oblong mendorong motornya masuk ke ruang tamu. Deretan rumah di situ betul-betul hanya berjarak tidak lebih dari satu setengah meter dengan rumah lainnya. Nyaris tak ada halaman depan, apalagi halaman belakang. Masing-masing terpisah atas nama gang.
Di atas sana, pada sebagian besar lampu-lampu kamar apartemen masih menyala. Kadang terlihat siluet orang yang berdiri di balkon. Di kota ini kadang ketimpangan sosial itu hanya berjarak beberapa ratus meter. Namun semua itu bersinggungan dengan cara yang dingin. Sedingin angin malam itu, yang seharusnya sudah membuat kulitnya bergidik, tapi lelaki itu tetap bergeming dan berpangku tangan.
Lelaki itu mengenakan kaca mata, kemeja hitamnya berlapis kardigan berwarna kelabu. Rambutnya lurus dan kadang ia menyisir dengan jemari sambil sikutnya bertopang pada meja. Dari penampilannya itu Ia terlihat sebagai orang yang bekerja di kantoran.
“Lebih mirip detektif Conan Mit.” Kata Dodi.
Mita hanya tertawa,
Ia tidak terlihat sedang menunggu seseorang, yang biasanya dapat diindikasikan dengan berulangnya ia memeriksa ponsel atau melihat jam tangan. Ia justru seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Matanya kadang terlihat mengamati apa yang ada di hadapannya, kadang juga terjun pada jurang kekosongan.
Dua pelayan itu, Mita dan Dodi sudah hampir membereskan barang-barang, memeriksa kembali stok persediaan, untuk sekitar setengah jam Kafe akan tutup. Mita kemudian menyuruh Dodi supaya bilang kepada lelaki itu bahwa kafe lima belas menit lagi akan tutup.
“Sama kamu aja Mit.”
“Kamu gak mau pulang apa?” keluhnya, lalu ia melanjutkan, “tapi kamu yang beresin Meja Pak tua itu. Suamiku udah jemput.”
“oke!” kata Dodi.
Mita kemudian menghampiri lelaki itu. Di sana memang sudah tidak ada pelanggan, hanya lelaki itu seorang. Ia menatap bibir Mita bicara sebentar lalu manggut-manggut paham.
Sekembalinya Mita ke belakang meja kasir, lelaki itu telah membereskan barang-barangnya. Ia berdiri, diam sebentar, memastikan apa yang sekiranya tidak tertinggal, lalu melangkah pergi meninggalkan Kafe. Tidak terasa waktu telah menyisakan lima belas menit dan Mita sudah mengganti tulisan yang menggantung di pintu kaca dengan tulisan CLOSED.
“Dod tugasku selesai ya, tinggal ngepel aja giliran kamu.” seru Mita sambil menggendong tasnya, “hidup ini pendek Dod, jadi lakuin apapun sesegera mungkin. Aku pamit ya!” kata Mita dengan mata ngantuknya.
Setelah mengatakan hati-hati pada Mita, malam hanya menyisakan Dodi di sana. Ia telah mematikan lagu, dan beberapa nyala lampu. Ia hendak membereskan gelas dan mengelap meja bekas lelaki itu. Di saat yang bersamaan, ia tertegun. Ia menaruh kembali gelas di atas meja dan coba duduk di sana. Ia penasaran dengan apa yang dirasakan lelaki paruh baya itu sampai bisa duduk hingga berjam-jam.
Tapi Dodi tidak merasakan apa-apa. Barangkali Mita ada benarnya, lebih baik melakukan hal yang lebih berguna ketimbang mengamati banyaknya antena yang terpasang di atas pemukiman warga.
Sambil membawa gelas ke dapur, Dodi berpikir mungkin lelaki itu mengalami romantisme akut yang tak bisa dibagi pada tiap orang seenaknya, tidak juga kepada Mita. Perasaan yang sulit dipahami saat lampu mati dan orang-orang telah berlalu pergi, sebuah pengalaman eksistensial yang tidak serta merta diangkat dan disajikan di atas meja makan dengan orang lain. Orang-orang tak akan pernah mengerti perasaannya, cuma itu yang Dodi tahu.
Dodi kemudian mencuci gelasnya. Setelah itu ia mengepel lantai sedikit, karena selebihnya masih terlihat bersih. Hanya supaya besok siang tinggal menyapu.
Namun Dodi berterus terang pada dirinya sendiri bahwa ia masih penasaran pada apa yang ditinggalkan lelaki paruh baya itu. Ada yang tertinggal di sana, bukan benda atau semacamnya, namun perasaan yang sunyi.
Seorang lelaki, menurut Dodi, selalu tak akan pernah bisa menunjukkan air matanya di muka umum. Meskipun itu terdengar sangat berharga sebagai arti menjadi manusia. Tetapi lelaki harus terlihat kuat, tangguh, tahan banting, urat kawat tulang besi kayak Gatot Kaca. Maskulin total pokoknya! Tabu bagi lelaki untuk bersedih, kecewa, dan melewati suatu malam dengan mendengarkan lagu yang menye-menye dengan pipi kebanjiran air mata. Apa arti air mata bagi laki-laki kecuali tanda kelemahan katanya?
Konstruksi sosial membentuk sosok lelaki untuk tersinggung jika disebut cengeng. Saat sekolah dulu, Dodi pernah dilempar penghapus papan tulis oleh gurunya karena dianggap tidak memerhatikan pelajaran di kelas. Seorang temannya yang ketahuan merokok, tangannya dicocol oleh ujung api rokok itu oleh bapaknya, padahal bapaknya juga perokok berat. Adalah nasib kolektif bagi anak-anak lelaki yang rebel di zaman itu mendapatkan kekerasan fisik atas nama didikan: perutnya dicubit sambil diputar, ditampar, ditendang..
Hal itu membentuk lelaki untuk terbiasa dengan pekerjaan yang keras dan kasar. Bahkan dalam sejarah, lelaki harus mengerjakan hal-hal yang membahayakan, seperti berperang, bekerja di pertambangan, dan pekerjaan yang secara langsung bisa mengancam nyawa mereka. Seakan lelaki tak punya ruang untuk melakukan hal-hal seperti menyapu, mencuci piring, menulis puisi, atau.. menangis.
Dodi bertanya pada dirinya sendiri kapan seorang lelaki merasakan dicintai seutuhnya tanpa syarat? Tanpa harus mendaki gunung atau menyelami lautan untuk membuktikan cinta yang eksklusif?
Lalu lintas di luar terdengar menyepi. Langit lengang. Tidak terasa ia telah melamun selama satu setengah jam. Waktu telah menunjukkan pukul 01.14 dini hari. Sedikit ia sadari bahwa ia seperti merasakan resonansi yang sama seperti lelaki itu setelah diam sendirian, terlepas dari semua rutinitas dan kegawatan, yang membuatnya selama ini seakan tak punya banyak waktu di tengah desakan ruang-ruang kota, dan sejarah. Ia membuka ruang percakapan dengan Mita pada ponselnya, lalu jempolnya mengetikkan sesuatu.
“Kayaknya ngga semua mesti berguna juga sih Mit.. Tapi juga berharga.”
Layar ponsel kembali gelap, menyisakan wajahnya yang samar terpantul kaca.